Catatan Sinau Bareng Amsterdam, 25 Desember 2016 (1)
Sumber: CAKNUN.COM
27 Desember 2016#Belanda #Berita #Reportase
Cak Nun dan Ibu Novia
Kolopaking hadir di Islamitische Basisschool El-Amien untuk memeringati Maulid
Nabi yang diselenggarakan PPME Al-Ikhlash Amsterdam.
Sinau Bareng atau Maiyahan Cak Nun dan Ibu Novia Kolopaking di
Amsterdam, dalam rangkaian sepekan di Eropa yang sudah diawali di Frankfurt 22
Desember 2016, digelar di Islamitische Basisschool El-Amien dan diselenggarakan
oleh PPME Al-Ikhlash Amsterdam. Tema utamanya adalah memeringati Maulid Nabi
Muhammad Saw.
Cak Nun dan Ibu Novia hadir di Islamitische Basisschool
El-Amien. Seperti di manapun tatkala bertemu dengan banyak kalangan
masyarakat, dengan kepekaan rasanya yang halus, Cak Nun selalu terharu dan
tersentuh hatinya, serta ingin senantiasa membesarkan hati dan mendoakan
mereka. Maka usai pembukaan, lantunan ayat Suci, shalawatan, dan dua sambutan,
dari Panitia yaitu Pak Rudi Kosasih dan perwakilan Kedubes RI di Belanda yaitu
I Gusti Agung Wesakapuja, Cak Nun terlebih dahulu membaca dan menguraikan makna
surat al-Insyiroh (Alam Nasyroh).
Dengan berangkat dari muatan uraian ayat-ayat surat Alam Nasyroh
ini, Cak Nun mendoakan agar para hadirin senantiasa diberi kemudahan oleh
Allah, dikurangi beban-beban hidupnya, dan ditambahkan kekuatan dalam menyangga
beban-beban kehidupan mereka. Cak Nun mengajak mereka meyakini kebenaran
pernyataan Allah dalam surat al-Insyiroh ini: fainna ma’al usri yusro,
inna ma’al usri yusro. Bahwa Inna ma’al usri yusro, yang dalam
keyakinan Cak Nun bukanlah berarti “sesudah kesulitan akan ada kemudahan”
sebagaimana pemahaman selama ini, melainkan “bersamaan dengan kesulitan itu
Allah memberikan kemudahan”. Hal sederhana yang tentu menyirami dan menyejukkan
publik Indonesia yang tinggal di negeri Barat di mana umat Islam adalah
minoritas.
Konteks ini pula yang menyebabkan Cak Nun mengingatkan betapa
tinggi kedudukan mereka di depan Rasulullah. Mereka tergolong ke dalam umat
Islam yang beruntung. Umat yang digambarkan oleh Rasulullah dengan kalimat yang
indah dan membesarkan hati: _Fatuuba fatuuba fatuuba liman lam yarooni
wa aamana bii_ (Maka beruntunglah, maka beruntunglah, maka
beruntunglah bagi mereka yang belum pernah melihatku, tetapi beriman
kepadaku).” Betapa tidak. Di Amsterdam — dan kota-kota lain di Eropa atau Barat
— wilayah di mana mayoritas warga bukan pemeluk agama Islam, mereka
sungguh-sungguh dan istiqamah melaksanakan shalat berjamaah, menyelenggarakan
pengajian, shalawatan, dan melakukan ajaran-ajaran Islam lainnya. Sekiranya
mereka tinggal di dalam wilayah dengan budaya dan kondisi lingkungan yang
mayoritas Muslim, tentu hal itu wajar belaka.
Untuk itulah, menyempurnakan penjelasan mengenai ayat-ayat dalam
surat al-Insyiroh itu, Cak Nun menekankan bahwa sesudah mendapatkan kemudahan inna
ma’al usri yusro_ itu, kita diperintahkan untuk terus-menerus
melaksanakan perjuangan. Tidak boleh mudah berpuas dengan hasil yang telah
dicapai. Semata hanya berharap kepada Allah. Jangan tidak pernah tidak
menjadikan Allah sebagai subjek utama dalam kehidupan. _Faidza faroghta
fanshob, wa ilaa robbika farghob. Masih dari surat al-Insyiroh. Yaitu ayat
penghujung surat yang memerintahkan kita untuk terus melanjutkan perjuangan
(selesai satu perjuangan diteruskan dengan perjuangan yang merupakan bentuk
lain dari istiqamah perjuangan atau bentuk lain dari tak boleh berpuas diri)
dan dalam melakukan perjuangan itu hanya berharap kepada Allah.
Cak Nun membaca dan menguraikan makna surat al-Insyiroh (Alam
Nasyroh).
Dipanggil Syaikhona
Ada hal unik di Sinau Bareng di Islamitische Bassisschool
Al-Amien ini. Pemandu Acara atau MC memanggil Cak Nun dengan sebutan Syaikhona.
Menarik, karena di Indonesia sendiri belum pernah sebutan itu terlontar di
Maiyahan di berbagai tempat. Paling jauh dipanggil Romo Kiai, itu pun sesekali
saja di pelosok desa. Tapi ini di Amsterdam. Seandainya di Madura tentu wajar,
di mana masyarakat di sana dari atas sampai bawah familiar dengan kata
Syaikhona untuk menyebut Syaikhona Kholil Bangkalan, salah satu induk ulama di
Indonesia.
Tentu sang MC terlahir dan besar dalam lingkungan santri, dan
menarik bahwa hal-hal detail khasanah santri itu masih dibawa dan dijaga di
Amsterdam. Dan kok ya dilontarkan kepada Cak Nun. Itulah sebabnya, Cak Nun
hanya bisa berharap agar panggilan itu adalah panggilan kemesraan. Bukan
panggilan yang menunjuk pada gelar spiritual. Apalagi gelar itu di Indonesia
hanya disematkan kepada KH Kholil Bangkalan.
Hal ini membuat Cak Nun menerangkan fenomena evolusi makna
istilah atau sebutan, termasuk sebutan Habib, yang boleh jadi belum banyak
dipahami selama ini termasuk di Indonesia. Pada mulanya, habib itu
sebutan untuk orang-orang yang mencintai Rasulullah Saw. Kemudian istilah ini
berkembang untuk menyebut orang yang dianggap atau diyakini sebagai keturunan
Rasulullah. Sementara di sisi lain, dalam sejarahnya, ada terminologi
tersendiri untuk menyebut orang-orang yang merupakan keturunan Rasulullah.
Yaitu Sayyid dan Syarif. Disebut Sayyid apabila beliau bergaris keturunan dari
Sayyidina Hasan bin Ali. Sedangkan Syarif adalah dari garis Sayyidina Husein
bin Ali.
***
Yang hadir di Sinau Bareng ini adalah pekerja dan pelajar
Indonesia, yang datang dari sekitar Amsterdam, Den Haag, dan bahkan ada yang
dari Jerman. Ada turut hadir pula beberapa bule yang suaminya orang Indonesia.
Tentu saja acara Maulid Nabi di sini tidak seperti Mauludan di desa-desa di
Indonesia di mana simbol-simbol kesantrian cukup dominan mewarnai. Kebanyakan
hadirin mengenak baju biasa, bahkan kaos, dan tampaknya tak ada yang mengenakan
sarung. Tetapi sedikit pun semua itu tak mengurangi muatan-muatan yang muncul
dan mereka peroleh.
Pekerja dan pelajar Indonesia yang datang dari sekitar
Amsterdam, Den Haag, dan bahkan Jerman. Bahkan pada segmen yang masih awal pun, mereka sudah diajak
menyelami tadabbur keutuhan muatan dan makna ayat-ayatbsurat al-Insyiroh,
diingatkan akan ucapan Rasulullah yang menggembirakan hati bagi orang-orang
yang beriman kepada Rasulullah sementara mereka belum pernah melihatnya. Hal
yang di Negara-negara Barat terasa sekali artinya, seperti yang berlangsung di
acara Sinau Bareng di Amsterdam ini. Dan Cak Nun dengan titis menangkap dan
mengartikulasikn hal itu kepada teman-teman Muslim Indonesia yang tinggal di
Belanda ini. Sebuah ekspresi kepekaan dan kelembutan yang hari-hari ini
sepertinya makin jauh dari mewarnai ruang-ruang sosial keummatan kita karena
kecenderungan yang berlangsung saat ini adalah gampang menghakimi atau
menyakiti sesama muslim terutama melalui media sosial.
0 komentar:
Posting Komentar